Dalam Tajuk Harian FAJAR edisi 6 Desember 2006 termaktub: "Sebuah peristiwa
yang dari sisi hukum, moral dan agama yang dianut Aa Gym bukanlah sebuah
penyimpangan. Berbanding terbalik dengan kasus adegan sang legislator dan artis
Maria Eva." Pada tanggal 5 Des 2006 secara mendadak, Menteri Pemberdayaan
Perempuan Meutia Farida Hatta, dipanggil ke istana. Ia diminta menyiapkan
revisi undang-undang dan peraturan pemerintah soal perkawinan. Meutia Hatta
datang ke kantor presiden di komplek Istana Kepresidenan bersama Dirjen Bimas
Islam Departemen Agama, Nas(a)ruddin Umar, yang sebelum menjadi Dirjen pernah
menulis tentang adanya Nabi Perempuan
[http://www.suaramerdeka.com/harian/0103/23/kha5.htm]. Menurut Seskab Sudi
Silalahi yang mendampingi SBY, pertemuan itu membahas UU maupun PP tentang
perkawinan yang dinilai belum memberikan perlindungan bagi kaum perempuan. Sudi
Silalahi tidak menyangkal bahwa salah satu sebab SBY membahas masalah tersebut
adalah protes masyarakat
terkait poligami yang dilakukan Aa Gym. "HP (handphone) Bapak Presiden dan Ibu
Negara sampai tidak muat menerima SMS soal itu," kata Sudi. Menurut Sudi, SBY
sangat memperhatikan pentingnya perlindungan hukum bagi kaum perempuan. "Ini
sebagai respons bahwa beberapa hari ini, Presiden dan Ibu Negara menerima
banyak masukan dan saran dari kaum perempuan yang cukup perlu mendapat
perhatian," kata Sudi. Kaum perempuan sekuler yang usil memprotes Aa Gym itu
yang bagi isteri Aa Gym bukan masalah, itu adalah isyarat yang terang
benderang, bahwa itu bermuatan politis, ternyata pula mendapat respons serius
oleh SBY. Muatan politis itu didukung pula oleh kenyataan bahwa perzinaan yang
haram yang diperbuat Yahya Zaini + pasangannya Maria Eva didiamkan saja oleh
kaum perempuan sekuler yang memprotes itu. Tegasnya memang kaum sekuler itu
heboh terhadap kasus poligami yang halal tidak pusing mengenai kasus zina yang
haram. Mereka tidak mempunyai standar moral yang jelas.
Apa benar untuk melindungi perempuan harus merevisi UU Perkawinan dengan
melarang poligami? Justru yang harus direvisi dalam konteks perlindungan
gadis-gadis adalah KUHP. Untuk membicarakan hal ini kita mulai dahulu dengan
pemahaman privasi! Apa itu privasi? Dalam bingkai apa dan di bumi mana?
Pengertian privasi atau keleluasaan pribadi menjadi rancu, karena umumnya orang
tidak menyadari bahwa kakinya berpijak di Indonesia, tetapi kepalanya di
Eropah. Ini tidak wajar. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kalau
kaki berpijak di Indonesia maka kepalapun harus ada di Indonesia, menjunjung
langit Indonesia. Kalau kepala ada di Eropah, maka privasi itu adalah bagian
dari humanisme yang sangat liberal, yang menjiwai semboyan Revolusi Perancis:
liberte', egalite' et fraternite' (kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan).
Asal tahu saja Hak Asasi Manusia menurut Barat berlandaskan pandangan hidup
humanisme agnostik tersebut.
Demikian liberalnya, berdasarkan atas filsafat humanisme agnostik ini,
sehingga demi privasi itu kekuasaan negara cq kehakiman berakhir di ambang
pintu masuk kamar tidur. Di dalam kamar tidur, siapapun tidak berhak menggangu
privasi orang-orang ataupun pasangan yang ada di dalamnya, kecuali jika salah
seorang ataupun keduanya dari pasangan itu isteri atau suami seseorang. Yang
laki-laki melanggar privasi suami perempuan teman sekamarnya dan yang perempuan
melanggar privasi isteri laki-laki teman sekamarnya itu. Pemahaman privasi yang
demikian itu (kepala di Eropah, kaki di Indonesia) terikut masuk ke Indonesia
melalui Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch Indie. Setelah kita merdeka,
menurut pasal VI UU 1946 no.1, diubah menjadi Wetboek van Strafrecht, atau
(K)itab (U)ndang-Undang (H)ukum (P)idana.
Pemahaman privasi itu kita jumpai dalam KUHP pasal 284: ayat (1) menyatakan
bahwa diancam pidana seorang pria kawin yang melakukan zina, seorang wanita
kawin yang melakukan zina; ayat (2) menyatakan bahwa tidak dilakukan penuntutan
melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar. Secara tersurat yang
dilarang oleh undang-undang adalah bermukah, yaitu perzinaan yang dilakukan
oleh laki-laki dan atau perempuan yang sudah kawin, bahasa Makassarnya,
assangkili', bahasa Belandanya "overspel" (keliwat main), dan itupun cuma delik
aduan. Sesungguhnya pasal 284 tersebut substansinya bukanlah larangan bermukah,
melainkan pada hakekatnya yang tersirat adalah pelanggaran privasi bagi suami
dari isteri yang bermukah atau pelanggaran privasi bagi isteri dari suami yang
bermukah.
Oleh sebab itu polisi tidak dapat menangkap orang yang berzina jika suami
perempuan berzina itu atau isteri laki-laki yang berzina itu tidak
berkeberatan. Polisi tak dapat berbuat apa-apa walaupun menyarakat
sekelilingnya melapor ke polisi tentang perzinaan itu. Maka gadis yang hamil
karena berzina dengan seorang jejaka, tidaklah dapat ia mengadukan musibah
kehamilannya itu ke polisi, berhubung gadis itu tidak punya suami ataupun
jejaka itu tidak punya isteri yang akan berkebaratan. Dengan demikian jejaka
yang menghamilkan itu tidak dapat diseret oleh polisi untuk disodorkan ke
jaksa, untuk selanjutnya didudukkan di kursi terdakwa dalam ruang pengadilan.
KUHP tidak melindungi perempuan. Justru inilah yang harus diubah, bukan UU
Perkawinan. Yayasan Jurnal Perempuan dan konco-konconya yang sekuler itu salah
tembak, karena matanya juling (cross-eyed), sehingga poligami dilihatnya
sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Pasal 284 tersebut harus diganti dengan undang-undang yang lebih efektif
sesuai dengan Syari'at Islam, untuk mencegah perzinaan (pelacuran, hubungan
seks secara liar). Betapa tidak! Sanksinya hanya maksimum 9 bulan, yang dapat
dituntut hanya yang bermukah, hanya delik aduan, dan pengaduan dapat ditarik
kembali. Undang-undang pengganti pasal 284 KUHP tersebut, harus melarang
perzinaan, baik yang masih belum kawin, ataupun lebih-lebih lagi yang sudah
kawin, bukan delik aduan, siapa saja yang mengadukan kepada yang berwajib harus
dilakukan penuntutan, pengaduan tidak boleh ditarik kembali. Dengan demikian
maka hal memalukan Lembaga Legislatif karena perbuatan anggotanya Yahya Zaini
yang bertzina dengan Maria Eva (pengurus AMPI?), andaikata KUHP sejak dahulu
direvisi, keduanya akan berhadapan dengan hukum.
Firman Allah:
-- WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FAhSyt WSAa SBYLA (S. BNY ASRAaYL, 17:32), dibaca:
-- wala- taqrabuz zina- innahu- ka-n fa-hisyatan wasa-a sabi-lan, artinya:
-- Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu sangat keji dan jalan
yang amat jahat.
Mendekati saja sudah dilarang, betapa pula melakukannya. Ini semua tidak
dilihat oleh Yayasan Jurnal Perempuan dan konco-konconya yang sekuler yang
matanya juling itu. WalLlahu a'lamu bisshawab.
Sumber :
http://www.mail-archive.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda